Makna Bubuh/Bubur Pada Perayaan Tumpek Bubuh


Setiap hari Sabtu Kliwon wuku Wariga, umat Hindu di Bali merayakan hari Tumpek Wariga. Hari raya yang juga dikenal dengan nama lain Tumpek Bubuh, Tumpek Uduh dan Tumpek Pengatag ini biasanya ditandai dengan tradisi membuat bubur (bubuh).

Itu sebabnya, Tumpek Wariga dikenal juga sebagai Tumpek Bubuh. Tapi, tak banyak yang tahu, mengapa saat Tumpek Wariga mesti membuat bubur. Mengapa pula dalam banten pengantag yang dihaturkan saat mengupacarai tumbuhan mesti dilengkapi bubur?

Pendharmawacana (penceramah) agama Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama bagi umat manusia.

Menurut Wiana, dalam ajaran agama Hindu dikenal konsep tri chanda yakni tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu yakni vata (udara), apah (air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak bisa berlangsung.

“Makanya, kejahatan terhadap ketiga unsur dasar dalam kehidupan itu adalah kejahatan terbesar dalam hidup,” kata Wiana.

Dalam Niti Sastra juga disebutkan tri ratna permata, tiga hal yang menyebabkan kemuliaan hidup yakni tumbuh-tumbuhan, air dan kata-kata bijak. Menurut Hindu, kata Wiana, tumbuh-tumbuhan adalah saudara tua manusia.

Tradisi membuat dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih merupakan tradisi lokal Bali. Tradisi ini kemudian diharmonisasi dengan ajaran agama Hindu.

Biasanya, imbuh Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambang purusa (maskulin) sedangkan bubur berwarna putih merupakan lambang pradana (feminim). Penyatuan kedua unsur itu menyebabkan lahirnya kehidupan.

Tradisi perayaan Tumpek Wariga, kata Wiana, tidak saja ada di Bali. Di India juga ada tradisi serupa yakni Sangkara Puja. Saat Tumpek Wariga juga dilakukan pemujaan Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa segala tumbuh-tumbuhan.

“Konsepsinya adalah sarwatumuwuh, segala yang bertumbuh itu merupakan karunia terbesar Tuhan sehingga patut disyukuri,” tandas Wiana.

Sumber : http://www.balisaja.com/2013/03/mengapa-saat-tumpek-wariga-mesti_1797.html

0 comments:

Post a Comment